CRITICAL
REVIEW
Buku “Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian”
Oleh
Y. Tri Subagya
Kebudayaan Jawa memiliki berbagai
keunikan, dan setiap daerah mempunyai keunikan-keunikan tersendiri.Di dalam
buku “Menemui
Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian” membahas fenomena kematian dalamkebudayaan
orang jawa yang mempunyai berbagai ciri khas.Hal ini terbukti dengan adanya
berbagai persamaan dan perbedaan mengenai fenomena tersebut dengan fenomena
yang berada di desa saya, berikut penjelasannya.
Pada bagian awal buku “Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian” oleh Y. Tri Subagya (halaman 15) terdapat proses penyampaian
kabar duka melalui bunyi titirkenthongan.
Tetapi di daerah saya,
penyampaian kabar duka tersebut melalui toa yang berada di masjid-masjid desa.Biasanya kabar tersebut di sampaikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, tidak ada masyarakat (biasa) yang berani menyampaikan kabar duka itu melalui toa, karena hal itu dianggap pamali. Dengan adanya penyampaian kabar duka tersebut, secara spontan akanmenghentikan berbagai aktifitas yang sedang dilakukan warga, dan warga berbondong-bondong menuju ke rumah duka, biasanya warga membawa beras atau gabah untuk membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Proses tersebut sebagai tanda empati dari warga kepada keluarga yang berduka. Setelah itu, beras tersebut biasanya diberikan kepada orang yang telah menggali liang kubur dan mengurus segala keperluan sebelum jenazah dimakamkan.
penyampaian kabar duka tersebut melalui toa yang berada di masjid-masjid desa.Biasanya kabar tersebut di sampaikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, tidak ada masyarakat (biasa) yang berani menyampaikan kabar duka itu melalui toa, karena hal itu dianggap pamali. Dengan adanya penyampaian kabar duka tersebut, secara spontan akanmenghentikan berbagai aktifitas yang sedang dilakukan warga, dan warga berbondong-bondong menuju ke rumah duka, biasanya warga membawa beras atau gabah untuk membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Proses tersebut sebagai tanda empati dari warga kepada keluarga yang berduka. Setelah itu, beras tersebut biasanya diberikan kepada orang yang telah menggali liang kubur dan mengurus segala keperluan sebelum jenazah dimakamkan.
Pada halaman 31 diceritakan bahwa konteks kematian dalam
kedudukan sosial seseorang dipertontonkan secara transparan. Didalam buku, diceritakan ketika istri mantan presiden RI,
Ny. Hj. R.A Fatimah Siti Hartinah Soeharto yang wafat pada tanggal 28 April
1996, warga Indonesia diwajibkan mengibarkan bendera setengah tiang selama
seminggu, dan juga diberbagai stasiun televisi meliput secara langsung mengenai pemberangkatan jenazah ke
persemayaman. Dalam hal ini, pengibaran bendera setengah tiang dan penayangan
proses pemakaman dilakukan karena istri mantan presiden Soeharto mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi. Akan tetapi, saya kurang setuju dengan pendapat
tersebut, pada kenyataannya masih banyak penayangan di televisi mengenai berita
kematian seseorang, mereka bukan orang yang mempunyai kedudukan sosial
tinggi, tetapi berita kematiannya dipertontonkan secara transparan. Jadi intinya tidak hanya orang yang mempunyai kedudukan tinggi saja
yang berita kematiannya dipertontonkan secara transparan. Karena saya mengalami
sendiri hal itu, pada tanggal 3 Maret 2014 teman saya meninggal, karena ‘sebab-sebab
tertentu’dan itu juga diliput oleh wartawan TvOne.
Pada halaman
36 dijelaskan bahwa penulis merasakan kepedihan, ketakutan dan
perasaan-perasaan yamg sulit diungkapkan ketika orang dihadapkan kematian. Hal
itu sudah bersifat manusiawi, karena apa yang dirasakan penulis pada saat itu
sama seperti apa yang saya rasakan ketika ditinggalkan oleh orang terdekat dan
orang tersayang untuk selamanya. Pada bulan Agustus
2012, tanggal 3 Maret 2014, tanggal 24 Maret 2015, mereka meninggalkan kami
semua untuk selamanya. Dan sampai saat ini saya masih sering merasakan apa yang
penulis rasakan, seringkali saya teringat ketika mereka berada ditengah-tengah
kita, bercanda bersama, dan ini terlalu cepat untuk kepergian mereka. Tapi
inilah Takdir Tuhan.
Pada halaman 46 dijelaskan
pada keterangan foto bahwa mengeluarkan jenazah dari rumah tidak mudah dan itu
membutuhkan banyak orang untuk membawa keranda mayat, keadaan ini membangkitkan
solidaritas setiap warga kampung. Sama halnya dengan di desa saya, warga desa
akan membantu membawa keranda mayat ke tempat pemakaman dengan cara memikul beramai-ramai.
Bahkan tidak jarang dari mereka untuk memperebutkan posisi tersebut karena
mereka beranggapan bahwa ikut memikul keranda dan mengantarkan jenazah sebagai
penghormatan terakhir, bentuk empati, dan juga merupakan amal baik dalam agama
Islam.
Pada halaman 47dijelaskan
bahwa orang yang meninggal ketika hidupnya tidak pernah srawung tangga, maka pada saat mayatnya akan dikubur tidak ada
warga yang membantunya. Hal ini dibuktikan pada omongan bapak kadus“Biar saja, dia tidak mau bergaul dengan
tetangga. Soalnya kalau dia mati, dia bisa kuburkan dirinya sendiri!”.
Berbeda dengan kondisi di desa saya, ketika ada orang yang meninggal maka warga
akan mengurus segala keperluan pemakaman. Mereka tidak peduli dengan
kehidupannya ketika masih hidup di dunia, bagi mereka yang terpenting adalah jenazah
cepat-cepat dimakamkan, karena itu merupakan salah satu hal yang tidak boleh
ditunda-tunda dalam ajaran agama Islam yaitu penguburan jenazah.
Pada halaman 63-64dijelaskan
bahwa orang jawa dalam menjalankan tradisi sering mendengarkan pertimbangan
orang tua atau tetangga yang di anggap tahu, seperti menentukan hari baik,
simbol mistis dari berbagai jenis makanan.Kedua hal tersebut sama-sama masih
dan pernah berada pada gagasan warga di desa saya. Mereka masih mempercayai
hari-hari baik beserta pasarannya ketika akan melakukan sesuatu, seperti
mengadakan selametan, membangun
rumah, bahkan berangkat kerja. Mereka menanyakan hari baik tersebut kepada
orang yang dianggap tahu tentang hal tersebut. Ketika warga akan mengadakan selamatan, mereka sudah tidak lagi
menyediakan sesajen seperti kue apem, nasi tumpeng, dan lain-lain.
Pada halaman 67 dijelaskan
bahwa orang jawa menyelesaikan persoalan yang dianggap sulit dan runyam dengan
melalui ngelmu kejawen atau dengan
bantuan dukun, apabila mengobati
penyakit melalui dokter akan terasa mahal.
Meminta bantuan dukun juga masih
dilakukan oleh warga di desa saya, tetapi mereka tetap mengobati penyakit yang
diderita dengan membawanya ke dokter. Ketika dengan berobat ke dokter belum ada
perubahan dengan sakit yang dideritanya, mereka akan meminta bantuan dengan dukun atau orang pintar. Fenomena
tersebut saya merasakan sendiri ketika bapak saya sakit pada bulan Oktober 2014
dan dirawat di rumah sakit selama 2 minggu, dan belum ada perubahan sama
sekali. Akhirnya ibu saya meminta bantuan kepada orang yang dianggap tahu
tentang makhluk halus, dan selama 2 minggu pula bapak saja menjalani pengobatan
melalui orang pintar, dan Alhamdulilah bapak saya sembuh dari sakitnya setelah
4 minggu diobati secara medis dan tradisional.
Pada
halaman 77-78dijelaskan tahap-tahap hancurnya
tubuh dan kembalinya unsur rohani ke asalnya.Dalamhal itu biasanya warga di
desa saya mengiringi dengan berbagai ritual seperti tahlilan dan semacamnya.
Pada
halaman 95dijelaskan bahwa setelah
seribu hari, ahli waris menggantikan tanda kubur sementara dengan nisan. Warga
di desa saya juga mengalami hal yang sama ketika sudah seribu hari, mereka juga
akan mengganti tanda kubur yang biasanya menggunakankayuselong akan diganti dengan kayu wungu
bukan dengan nisan, yang mengganti adalah anak pertama tapi juga boleh
diwakilkan oleh siapa saja.
Pada
halaman 101 dijelaskan cara untuk
memandikan jenazah dalam tradisi kejawen, seperti jumlah tempat air ganjil, gladhakdebok, siwurberjumlah ganjil,
dalam bak-bak air diberi rangkaian daun pacar, daun dlimo, daun pisang yang
dirobek-robek dan bunga-bunga, bubukan kunyit dioleskan ke seluruh tubuh, ketep
(sikat yang dibuat dari jerami) untuk membersihkan gigi dan kuku, abu merang
untuk membersihkan rambut. Hal itu berbeda dengan warga di desa saya, biasanya
saat memandikan jenazah jumlah tempat, gladhakdebok,
dansiwur air tidak menentu, dalam
bak mandi biasanya diberi irisan sabun untuk memberikan sensasi wangi, pada
saat ini kunyit sudah digantikan oleh sabun untuk membersihkan seluruh tubuh
jenazah dan abu merang sudah digantikan oleh sampo untuk membersihkan rambut
jenazah. Untuk membersihkan kukunya masih sama yaitu menggunakan ketep.
Pada
halaman 126terdapat doa untuk
mengharumkan jenazah yang diucapkan saat orang menghadapi sakaratul maut.Saya
jadi terheran-heran dan baru tahu setelah membaca buku ini, ternyata ada doa
untuk mengharumkan jenazah yang diucapkan saat menghadapi sakaratul maut.
Setahu saya, harum tidaknya bau jenazah tergantung amal dan ibadahnya ketika
hidup di dunia. Dan ketika ibu saya menemani kakek saya (sedang sakaratul maut)
pada bulan Agustus 2012, ibu saya malah membacakan surat Yasin di dekat
telinganya, dan sambil beberapa kali menuntun mulutnya untuk membaca istighfar.
DAFTAR
PUSTAKA
Subagya,Y.Tri.
2004. Menemui Ajal “ Etnografi Jawa
Tentang Kematian”.Yogyakarta:Kepel Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar