KRITIK ARTIKEL
“Fenomenologi Agama: Pendekatan
Fenomenologi Untuk Memahami Agama” dan “Etnosains,
Etnotek, dan Etnoart: Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal” serta “Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi
Seni”
Oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra
Heddy Shri
Ahimsa-Putra adalah seorang antropolog budaya yang mempunyai berbagai karya
yang sudah dipublikasikan. Diantara karya-karyanya adalah “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama” ;
“Etnosains, Etnotek, dan Etnoart: Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal” ;
“Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni” yang akan saya
bandingkan berbagai persamaan ataupun perbedaan dari ketiga artikel tersebut.
Judul yang
terdapat dalam ketiga artikel tersebut tentu berbeda-beda, artikel pertama
berjudul “Fenomenologi Agama: Pendekatan
Fenomenologi Untuk Memahami Agama”, artikel kedua berjudul “Etnosains, Etnotek, dan Etnoart: Untuk
Revitalisasi Kearifan Lokal”, sedangkan artikel ketiga berjudul “Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi
Seni”. Dari perbedaan judul tersebut
muncul pula perbedaan fokus kajian, artikel pertama berfokus pada fenomenologi
agama digunakan untuk memahami gejala keagamaan, perhatian utama peneliti akan diarahkan
pada kesadaran (Ahimsa-Putra,2009:31). Sedangkan dalam artikel kedua berfokus
pada revitalisasi kearifan lokal yang memerlukan penggunaan paradigma baru
dalam penelitian sosial-budaya, paradigma tersebut berupa paradigma Etnosains
yang ditujukan untuk mengungkapkan aspek pengetahuan dari kebudayaan
(Ahimsa-Putra,2007:171). Dan pada artikel yang ketiga berfokus kajian pada
Etnoart akan mencapai indiginasi dari kesenian dan ilmu tentang seni
(Ahimsa-Putra,2003:364).
Ketiga artikel
tersebut sama-sama membahas fenomenologi namun disusun untuk tujuan yang berbeda.
Pada artikel pertama pendekatan fenomenologi untuk memahami agama, pada artikel
kedua fenomenologi untuk memahami kearifan lokal, sedangkan artikel ketiga fenomenologi
untuk memahami Etnoart dan Indiginasi Seni.
Pada artikel
pertama dan ketiga mempunyai asumsi dasar fenomenologi yang saling berhubungan
yaitu :
1.
Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk
yang memiliki kesadaran. Kesadaran mengenai sesuatu, yang juga disebut
pengetahuan. Sehingga kesadaran adalah perangkat pengetahuan yang kita miliki.
2.
Pengetahuan pada manusia berawal dari interaksi
atau komunikasi di antara individu satu dengan individu yang lain, dan sarana komunikasi
yang fundamental adalah bahasa lisan. Eksistensi kesadaran manusia hanya dapat
diketahui adanya lewat bahasa.
3.
Kesadaran bersifat intersubyektif (antarsubyek).
4.
Perilaku dan tindakan individu tidak ditentukan
oleh kondisi dan situasi “obyektif” yang dihadapinya, tetapi oleh kesadarannya
mengenai situasi dan kondisi tersebut.
5.
Typification atau classification digunakan manusia untuk memandang, memahami
lingkungan dan kehidupannya.
6.
Kehidupan manusia adalah kehidupan yang
bermakna, kehidupan yang diberi makna oleh mereka yang terlibat didalamnya.
7.
Gejala sosial budaya merupakan gejala yang
berbeda dengan gejala alam, karena dalam gejala sosial budaya yang terlibat
adalah manusia, dan manusia memiliki kesadaran tentang apa yang mereka lakukan.
Gejala sosial budaya tidak dapat dipelajari sebagaimana mempelajari gejala
alam.
8.
Metode yang digunakan untuk mempelajari suatu
gejala harus sesuai dengan “hakekat” dari gejala yang dipelajari tersebut
(Ahimsa-Putra,2009:11).
Dengan
menggunakan perspektif fenomenologi, seorang peneliti sosial budaya akan
berupaya untuk mendeskripsikan berbagai gejala sosial budaya sebagaimana gejala
tersebut disadari, diketahui, atau
dipahami oleh mereka yang terlibat dalam gejala tersebut, bukan sebagaimana
gejala tersebut dia sadari atau pahami (Ahimsa-Putra,2003:349).
Artikel pertama
dan kedua dari Prof. Heddy Shri
Ahimsa-Putra sama-sama mengusung pendapat dari tokoh seperti Edmund Husserl dan
Alfred Schutz. Tetapi dalam artikel ketiga hanya terdapat tokoh Edmund Husserl.
Pada artikel
kedua dan ketiga terdapat jenis kajian Etnosains yang sama, karena pada artikel
kedua memaparkan etnosains, etnotek serta etnoart, dan pada artikel ketiga
memaparkan etnosains dan etnoart, sedangkan pada artikel pertama mengabaikan
pemaparan tersebut. Adapun jenis kajian Etnosains yaitu :
1. Memusatkan
perhatian pada kebudayaan sebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan
atau situasi sosial yang dihadapi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga suatu kebudayaan dan
bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem
pengetahuan mereka.
2. Perhatian
pada kebudayaan harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat mewujudkan
perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung
kebudayaan tersebut.
3. Perhatian
pada kebudayaan sebagai seperangkat prinsip-prinsip untuk menciptakan,
membangun peristiwa, untuk mengumpulkan individu-individu atau orang banyak
(Ahimsa-Putra,2007:162 ; Ahimsa-Putra,2003:352)
Pada artikel pertama menjelaskan agama
berbeda dengan religion, juga berbeda
dengan sistem kepercayaan. Dilihat dari sudut pandang tertentu makna “agama”
lebih luas daripada sistem kepercayaan, namun dilihat dari sudut pandang yang
lain sistem kepercayaan lebih luas maknanya daripada agama. Manusia merupakan
makhluk pengemban kebudayaan dan agama adalah bagian dari kebudayaan, dan
kepercayaan merupakan salah satu bagian atau unsur kebudayaan. Kepercayaan
didefinisikan sebagai pandangan-pandangan, pendapat-pendapat yang diyakini
kebenarannya baik secara eksistensial maupun substansial, mengenai hal-hal yang
empiris maupun tidak empiris, yang
mendasari proses adaptasi manusia terhadap dunia empiris dan tidak
empiris. Dunia empiris adalah dunia yang dapat diketahui keberadaannya melalui
panca indra (dunia nyata) sedangkan dunia tidak empiris adalah alam ghaib.
Kebenaran eksistensial adalah kebenaran dunia tersebut, baik secara empiris
maupun tidak empiris, yang dianggap benar, sedangkan kebenaran substansial
adalah sifat-sifat, keadaan, ciri-ciri, dunia tersebut diyakini kebenarannya.
Adapula perangkat simbol dalam agama seperti perangkat simbol material yaitu masjid untuk sholat, air untuk wudhu, pakaian untuk
menutup aurat dan beribadah, kitab-kitab hadits, kitab-kitab para ulama,
makanan untuk berbuka puasa, dan sebagainya. Perangkat simbol behavioral misalnya adzan, iqomat,
bersedekah, berpuasa, menjalankan sholat, menyembelih binatang kurban dan sebagainya.
Perangkat simbol ideational misalnya
konsep tauhid, iman, aqidah, takwa dan sebagainya (Ahimsa-Putra,2009:16). Sedangkan pada
artikel kedua menjelaskan tujuan revitalisasi kearifan lokal yaitu :
a. Pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berwawasan budaya
b. Pengembangan
dan pemberdayaan pengetahuan, teknologi dan seni etniklokal
c. Penyejahteraan
masyarakat yang berbasis kearifan (pengetahuan) lokal.
Beberapa kajian etnosains dan
etnotek yaitu (a) bidang kesehatan (ethnomedicine) yaitu cara penyembuhan
dengan berbagai macam alat dan sarananya. Pengobatan (ethnohealing) yaitu cara
penyembuhan dengan cara minum jamu, pijat, tusuk jarum dan sebagainya, (b)
bidang pertanian (ethnoagriculture); pengetahuan suatu masyarakat mengenai
jenis-jenis tanaman (ethnobotani), (c) bidang perikanan (ethnomaritime);
pengetahuan masyarakat mengenai klasifikasi ikan dan berbagai jenis binatang
yang lain (ethnozoologi), (d) bidang perumahan (ethnoarchitecture), (e) bidang
lingkungan (ethnoecology), (f) bidang seni (ethnoart); pengetahuan tentang
musik-musik etnis (ethnomusicology), estetika etnik (ethnoaesthetics). Dalam
menggunakan paradigma etnosains kita akan dapat (a) memahami dan mengungkapkan
kearifan-kearifan lokal, (b) dapat dijadikan basis untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal, (c) melalui perencanaan-perencanaan yang
berbasis kearifan lokal. Paradigma etnosains memungkinkan melakukan
penyejahteraan masyarakat lewat proses yang lebih partisipatif, lebih manusiawi
(Ahimsa-Putra,2007:163). Dan pada artikel ketiga menjelaskan tujuan dari
Etnoart untuk mengungkapkan pandangan-pandangan masyarakat yang menghasilkan
karya-karya “seni” mengenai karya-karya itu sendiri, mengungkapkan karya-karya
seni dalam suatu masyarakat dan keterkaitannya dengan fenomena sosio-kultural
lain menurut pandangan masyarakat itu sendiri. Etnoart harus memulai
penelitiannya dengan mengumpulkan berbagai istilah yang digunakan oleh warga
suatu masyarakat untuk membangun wacana atau membicarakan fenomena seni dan
aktivitas kesenian dikalangan mereka. Perspektif etnoart penting dalam kajian
seni di Indonesia, karena :
a.
Kajian etnoart akan mengungkapkan makna-makna
dari berbagai jenis kesenian yang dikenal, dihasilkan dan dipentaskan oleh
suatu masyarakat.
b.
Kajian etnoart akan menghasilkan deskripsi
fenomena kesenian yang lebih menghargai pandangan-pandangan yang berasal dari
masyarakat yang diteliti, dan ini akan memberi dampak positif terhadap pandangan masyarakat tersebut
mengenai penelitian kesenian.
c.
Kajian etnoart akan mendorong dihasilkannya
sarana dan teknik pelukisan fenomena kesenian yang baru, yang selain bersifat
“universal” juga masih tetap memperhitungkan kekhasan serta dimensi pemaknaan
yang diberikan oleh pelaku kesenian itu sendiri. (Ahimsa-Putra,2003:359).
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2009. Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama.
Yogyakarta: UGM Press.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2003. Ethnoart Fenomenologi
Seni Untuk Indiginasi Seni. Yogyakarta: UGM Press.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2007. Ethnosains, Etnotek, dan Etnoart: Paradigma
Fenomenologis Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal. Yogyakarta: UGM Press.
kak, boleh share artikel dar prof heddy yang ini ,Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Ethnosains, Etnotek, dan Etnoart: Paradigma Fenomenologis Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal. Yogyakarta: UGM Press.
BalasHapus