Senin, 02 November 2015

Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian Oleh Y. Tri Subagya








CRITICAL REVIEW
Buku “Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian
Oleh Y. Tri Subagya

Kebudayaan Jawa memiliki berbagai keunikan, dan setiap daerah mempunyai keunikan-keunikan tersendiri.Di dalam buku Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian” membahas fenomena kematian dalamkebudayaan orang jawa yang mempunyai berbagai ciri khas.Hal ini terbukti dengan adanya berbagai persamaan dan perbedaan mengenai fenomena tersebut dengan fenomena yang berada di desa saya, berikut penjelasannya.
Pada bagian awal buku “Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian” oleh Y. Tri Subagya (halaman 15) terdapat proses penyampaian kabar duka melalui bunyi titirkenthongan. Tetapi di daerah saya,
penyampaian kabar duka tersebut melalui toa yang berada di masjid-masjid desa.Biasanya kabar tersebut di sampaikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, tidak ada masyarakat (biasa) yang berani menyampaikan kabar duka itu melalui toa, karena hal itu dianggap pamali. Dengan adanya penyampaian kabar duka tersebut, secara spontan akanmenghentikan berbagai aktifitas yang sedang dilakukan warga, dan warga berbondong-bondong menuju ke rumah duka, biasanya warga membawa beras atau gabah untuk membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Proses tersebut sebagai tanda empati dari warga kepada keluarga yang berduka. Setelah itu, beras tersebut biasanya diberikan kepada orang yang telah menggali liang kubur dan mengurus segala keperluan sebelum jenazah dimakamkan.
Pada halaman 31 diceritakan bahwa konteks kematian dalam kedudukan sosial seseorang dipertontonkan secara transparan. Didalam buku, diceritakan ketika istri mantan presiden RI, Ny. Hj. R.A Fatimah Siti Hartinah Soeharto yang wafat pada tanggal 28 April 1996, warga Indonesia diwajibkan mengibarkan bendera setengah tiang selama seminggu, dan juga diberbagai stasiun televisi meliput secara langsung mengenai pemberangkatan jenazah ke persemayaman. Dalam hal ini, pengibaran bendera setengah tiang dan penayangan proses pemakaman dilakukan karena istri mantan presiden Soeharto mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Akan tetapi, saya kurang setuju dengan pendapat tersebut, pada kenyataannya masih banyak penayangan di televisi mengenai berita kematian seseorang, mereka bukan orang yang mempunyai kedudukan sosial tinggi, tetapi berita kematiannya dipertontonkan secara transparan. Jadi intinya tidak hanya orang yang mempunyai kedudukan tinggi saja yang berita kematiannya dipertontonkan secara transparan. Karena saya mengalami sendiri hal itu, pada tanggal 3 Maret 2014 teman saya meninggal, karena ‘sebab-sebab tertentu’dan itu juga diliput oleh wartawan TvOne.
Pada halaman 36 dijelaskan bahwa penulis merasakan kepedihan, ketakutan dan perasaan-perasaan yamg sulit diungkapkan ketika orang dihadapkan kematian. Hal itu sudah bersifat manusiawi, karena apa yang dirasakan penulis pada saat itu sama seperti apa yang saya rasakan ketika ditinggalkan oleh orang terdekat dan orang tersayang untuk selamanya. Pada bulan Agustus 2012, tanggal 3 Maret 2014, tanggal 24 Maret 2015, mereka meninggalkan kami semua untuk selamanya. Dan sampai saat ini saya masih sering merasakan apa yang penulis rasakan, seringkali saya teringat ketika mereka berada ditengah-tengah kita, bercanda bersama, dan ini terlalu cepat untuk kepergian mereka. Tapi inilah Takdir Tuhan.
Pada halaman 46 dijelaskan pada keterangan foto bahwa mengeluarkan jenazah dari rumah tidak mudah dan itu membutuhkan banyak orang untuk membawa keranda mayat, keadaan ini membangkitkan solidaritas setiap warga kampung. Sama halnya dengan di desa saya, warga desa akan membantu membawa keranda mayat ke tempat pemakaman dengan cara memikul beramai-ramai. Bahkan tidak jarang dari mereka untuk memperebutkan posisi tersebut karena mereka beranggapan bahwa ikut memikul keranda dan mengantarkan jenazah sebagai penghormatan terakhir, bentuk empati, dan juga merupakan amal baik dalam agama Islam.
Pada halaman 47dijelaskan bahwa orang yang meninggal ketika hidupnya tidak pernah srawung tangga, maka pada saat mayatnya akan dikubur tidak ada warga yang membantunya. Hal ini dibuktikan pada omongan bapak kadus“Biar saja, dia tidak mau bergaul dengan tetangga. Soalnya kalau dia mati, dia bisa kuburkan dirinya sendiri!”. Berbeda dengan kondisi di desa saya, ketika ada orang yang meninggal maka warga akan mengurus segala keperluan pemakaman. Mereka tidak peduli dengan kehidupannya ketika masih hidup di dunia, bagi mereka yang terpenting adalah jenazah cepat-cepat dimakamkan, karena itu merupakan salah satu hal yang tidak boleh ditunda-tunda dalam ajaran agama Islam yaitu penguburan jenazah.
Pada halaman 63-64dijelaskan bahwa orang jawa dalam menjalankan tradisi sering mendengarkan pertimbangan orang tua atau tetangga yang di anggap tahu, seperti menentukan hari baik, simbol mistis dari berbagai jenis makanan.Kedua hal tersebut sama-sama masih dan pernah berada pada gagasan warga di desa saya. Mereka masih mempercayai hari-hari baik beserta pasarannya ketika akan melakukan sesuatu, seperti mengadakan selametan, membangun rumah, bahkan berangkat kerja. Mereka menanyakan hari baik tersebut kepada orang yang dianggap tahu tentang hal tersebut. Ketika warga akan mengadakan selamatan, mereka sudah tidak lagi menyediakan sesajen seperti kue apem, nasi tumpeng, dan lain-lain.
Pada halaman 67 dijelaskan bahwa orang jawa menyelesaikan persoalan yang dianggap sulit dan runyam dengan melalui ngelmu kejawen atau dengan bantuan dukun, apabila mengobati penyakit melalui dokter akan terasa mahal. Meminta bantuan dukun juga masih dilakukan oleh warga di desa saya, tetapi mereka tetap mengobati penyakit yang diderita dengan membawanya ke dokter. Ketika dengan berobat ke dokter belum ada perubahan dengan sakit yang dideritanya, mereka akan meminta bantuan dengan dukun atau orang pintar. Fenomena tersebut saya merasakan sendiri ketika bapak saya sakit pada bulan Oktober 2014 dan dirawat di rumah sakit selama 2 minggu, dan belum ada perubahan sama sekali. Akhirnya ibu saya meminta bantuan kepada orang yang dianggap tahu tentang makhluk halus, dan selama 2 minggu pula bapak saja menjalani pengobatan melalui orang pintar, dan Alhamdulilah bapak saya sembuh dari sakitnya setelah 4 minggu diobati secara medis dan tradisional.
            Pada halaman 77-78dijelaskan tahap-tahap hancurnya tubuh dan kembalinya unsur rohani ke asalnya.Dalamhal itu biasanya warga di desa saya mengiringi dengan berbagai ritual seperti tahlilan dan semacamnya.
            Pada halaman 95dijelaskan bahwa setelah seribu hari, ahli waris menggantikan tanda kubur sementara dengan nisan. Warga di desa saya juga mengalami hal yang sama ketika sudah seribu hari, mereka juga akan mengganti tanda kubur yang biasanya menggunakankayuselong akan diganti dengan kayu wungu bukan dengan nisan, yang mengganti adalah anak pertama tapi juga boleh diwakilkan oleh siapa saja.
            Pada halaman 101 dijelaskan cara untuk memandikan jenazah dalam tradisi kejawen, seperti jumlah tempat air ganjil, gladhakdebok, siwurberjumlah ganjil, dalam bak-bak air diberi rangkaian daun pacar, daun dlimo, daun pisang yang dirobek-robek dan bunga-bunga, bubukan kunyit dioleskan ke seluruh tubuh, ketep (sikat yang dibuat dari jerami) untuk membersihkan gigi dan kuku, abu merang untuk membersihkan rambut. Hal itu berbeda dengan warga di desa saya, biasanya saat memandikan jenazah jumlah tempat, gladhakdebok, dansiwur air tidak menentu, dalam bak mandi biasanya diberi irisan sabun untuk memberikan sensasi wangi, pada saat ini kunyit sudah digantikan oleh sabun untuk membersihkan seluruh tubuh jenazah dan abu merang sudah digantikan oleh sampo untuk membersihkan rambut jenazah. Untuk membersihkan kukunya masih sama yaitu menggunakan ketep.
            Pada halaman 126terdapat doa untuk mengharumkan jenazah yang diucapkan saat orang menghadapi sakaratul maut.Saya jadi terheran-heran dan baru tahu setelah membaca buku ini, ternyata ada doa untuk mengharumkan jenazah yang diucapkan saat menghadapi sakaratul maut. Setahu saya, harum tidaknya bau jenazah tergantung amal dan ibadahnya ketika hidup di dunia. Dan ketika ibu saya menemani kakek saya (sedang sakaratul maut) pada bulan Agustus 2012, ibu saya malah membacakan surat Yasin di dekat telinganya, dan sambil beberapa kali menuntun mulutnya untuk membaca istighfar.

 DAFTAR PUSTAKA
Subagya,Y.Tri. 2004. Menemui Ajal “ Etnografi Jawa Tentang Kematian”.Yogyakarta:Kepel Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar