Senin, 23 November 2015

Fenomenologi Agama, Etnosains, Etnotek dan Etnoart




KRITIK ARTIKEL
Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama” dan “Etnosains, Etnotek, dan Etnoart: Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal” serta “Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni”
Oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra

Heddy Shri Ahimsa-Putra adalah seorang antropolog budaya yang mempunyai berbagai karya yang sudah dipublikasikan. Diantara karya-karyanya adalah “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama” ; “Etnosains, Etnotek, dan Etnoart: Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal” ; “Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni” yang akan saya bandingkan berbagai persamaan ataupun perbedaan dari ketiga artikel tersebut.
Judul yang terdapat dalam ketiga artikel tersebut tentu berbeda-beda, artikel pertama berjudul “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama”, artikel kedua berjudul “Etnosains, Etnotek, dan Etnoart: Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal”, sedangkan artikel ketiga berjudul “Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni”.  Dari perbedaan judul tersebut muncul pula perbedaan fokus kajian, artikel pertama berfokus pada fenomenologi agama digunakan untuk memahami gejala keagamaan, perhatian utama peneliti akan  diarahkan pada kesadaran (Ahimsa-Putra,2009:31). Sedangkan dalam artikel kedua berfokus pada revitalisasi kearifan lokal yang memerlukan penggunaan paradigma baru dalam penelitian sosial-budaya, paradigma tersebut berupa paradigma Etnosains yang ditujukan untuk mengungkapkan aspek pengetahuan dari kebudayaan (Ahimsa-Putra,2007:171). Dan pada artikel yang ketiga berfokus kajian pada Etnoart akan mencapai indiginasi dari kesenian dan ilmu tentang seni (Ahimsa-Putra,2003:364).

Ketiga artikel tersebut sama-sama membahas fenomenologi namun disusun untuk tujuan yang berbeda. Pada artikel pertama pendekatan fenomenologi untuk memahami agama, pada artikel kedua fenomenologi untuk memahami kearifan lokal, sedangkan artikel ketiga fenomenologi untuk memahami Etnoart dan Indiginasi Seni.
Pada artikel pertama dan ketiga mempunyai asumsi dasar fenomenologi yang saling berhubungan yaitu :
1.      Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran mengenai sesuatu, yang juga disebut pengetahuan. Sehingga kesadaran adalah perangkat pengetahuan yang kita miliki.
2.      Pengetahuan pada manusia berawal dari interaksi atau komunikasi di antara individu satu dengan individu yang lain, dan sarana komunikasi yang fundamental adalah bahasa lisan. Eksistensi kesadaran manusia hanya dapat diketahui adanya lewat bahasa. 
3.      Kesadaran bersifat intersubyektif (antarsubyek).
4.      Perilaku dan tindakan individu tidak ditentukan oleh kondisi dan situasi “obyektif” yang dihadapinya, tetapi oleh kesadarannya mengenai situasi dan kondisi tersebut.
5.      Typification atau classification  digunakan manusia untuk memandang, memahami lingkungan dan kehidupannya.
6.      Kehidupan manusia adalah kehidupan yang bermakna, kehidupan yang diberi makna oleh mereka yang terlibat didalamnya.
7.      Gejala sosial budaya merupakan gejala yang berbeda dengan gejala alam, karena dalam gejala sosial budaya yang terlibat adalah manusia, dan manusia memiliki kesadaran tentang apa yang mereka lakukan. Gejala sosial budaya tidak dapat dipelajari sebagaimana mempelajari gejala alam.
8.      Metode yang digunakan untuk mempelajari suatu gejala harus sesuai dengan “hakekat” dari gejala yang dipelajari tersebut (Ahimsa-Putra,2009:11).
Dengan menggunakan perspektif fenomenologi, seorang peneliti sosial budaya akan berupaya untuk mendeskripsikan berbagai gejala sosial budaya sebagaimana gejala tersebut  disadari, diketahui, atau dipahami oleh mereka yang terlibat dalam gejala tersebut, bukan sebagaimana gejala tersebut dia sadari atau pahami (Ahimsa-Putra,2003:349).

Artikel pertama dan kedua dari Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra sama-sama mengusung pendapat dari tokoh seperti Edmund Husserl dan Alfred Schutz. Tetapi dalam artikel ketiga hanya terdapat tokoh Edmund Husserl.
Pada artikel kedua dan ketiga terdapat jenis kajian Etnosains yang sama, karena pada artikel kedua memaparkan etnosains, etnotek serta etnoart, dan pada artikel ketiga memaparkan etnosains dan etnoart, sedangkan pada artikel pertama mengabaikan pemaparan tersebut. Adapun jenis kajian Etnosains yaitu :
1.      Memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga suatu kebudayaan dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka.
2.      Perhatian pada kebudayaan harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat mewujudkan perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan tersebut.
3.      Perhatian pada kebudayaan sebagai seperangkat prinsip-prinsip untuk menciptakan, membangun peristiwa, untuk mengumpulkan individu-individu atau orang banyak (Ahimsa-Putra,2007:162 ; Ahimsa-Putra,2003:352)

Pada artikel pertama menjelaskan agama berbeda dengan religion, juga berbeda dengan sistem kepercayaan. Dilihat dari sudut pandang tertentu makna “agama” lebih luas daripada sistem kepercayaan, namun dilihat dari sudut pandang yang lain sistem kepercayaan lebih luas maknanya daripada agama. Manusia merupakan makhluk pengemban kebudayaan dan agama adalah bagian dari kebudayaan, dan kepercayaan merupakan salah satu bagian atau unsur kebudayaan. Kepercayaan didefinisikan sebagai pandangan-pandangan, pendapat-pendapat yang diyakini kebenarannya baik secara eksistensial maupun substansial, mengenai hal-hal yang empiris maupun tidak empiris, yang  mendasari proses adaptasi manusia terhadap dunia empiris dan tidak empiris. Dunia empiris adalah dunia yang dapat diketahui keberadaannya melalui panca indra (dunia nyata) sedangkan dunia tidak empiris adalah alam ghaib. Kebenaran eksistensial adalah kebenaran dunia tersebut, baik secara empiris maupun tidak empiris, yang dianggap benar, sedangkan kebenaran substansial adalah sifat-sifat, keadaan, ciri-ciri, dunia tersebut diyakini kebenarannya. Adapula perangkat simbol dalam agama seperti perangkat simbol material yaitu masjid untuk  sholat, air untuk wudhu, pakaian untuk menutup aurat dan beribadah, kitab-kitab hadits, kitab-kitab para ulama, makanan untuk berbuka puasa, dan sebagainya. Perangkat simbol behavioral misalnya adzan, iqomat, bersedekah, berpuasa, menjalankan sholat, menyembelih binatang kurban dan sebagainya. Perangkat simbol ideational misalnya konsep tauhid, iman, aqidah, takwa dan sebagainya  (Ahimsa-Putra,2009:16). Sedangkan pada artikel kedua menjelaskan tujuan revitalisasi kearifan lokal yaitu :
a.       Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berwawasan budaya
b.      Pengembangan dan pemberdayaan pengetahuan, teknologi dan seni etniklokal
c.       Penyejahteraan masyarakat yang berbasis kearifan (pengetahuan) lokal.
Beberapa kajian etnosains dan etnotek yaitu (a) bidang kesehatan (ethnomedicine) yaitu cara penyembuhan dengan berbagai macam alat dan sarananya. Pengobatan (ethnohealing) yaitu cara penyembuhan dengan cara minum jamu, pijat, tusuk jarum dan sebagainya, (b) bidang pertanian (ethnoagriculture); pengetahuan suatu masyarakat mengenai jenis-jenis tanaman (ethnobotani), (c) bidang perikanan (ethnomaritime); pengetahuan masyarakat mengenai klasifikasi ikan dan berbagai jenis binatang yang lain (ethnozoologi), (d) bidang perumahan (ethnoarchitecture), (e) bidang lingkungan (ethnoecology), (f) bidang seni (ethnoart); pengetahuan tentang musik-musik etnis (ethnomusicology), estetika etnik (ethnoaesthetics). Dalam menggunakan paradigma etnosains kita akan dapat (a) memahami dan mengungkapkan kearifan-kearifan lokal, (b) dapat dijadikan basis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, (c) melalui perencanaan-perencanaan yang berbasis kearifan lokal. Paradigma etnosains memungkinkan melakukan penyejahteraan masyarakat lewat proses yang lebih partisipatif, lebih manusiawi (Ahimsa-Putra,2007:163). Dan pada artikel ketiga menjelaskan tujuan dari Etnoart untuk mengungkapkan pandangan-pandangan masyarakat yang menghasilkan karya-karya “seni” mengenai karya-karya itu sendiri, mengungkapkan karya-karya seni dalam suatu masyarakat dan keterkaitannya dengan fenomena sosio-kultural lain menurut pandangan masyarakat itu sendiri. Etnoart harus memulai penelitiannya dengan mengumpulkan berbagai istilah yang digunakan oleh warga suatu masyarakat untuk membangun wacana atau membicarakan fenomena seni dan aktivitas kesenian dikalangan mereka. Perspektif etnoart penting dalam kajian seni di Indonesia, karena :
a.       Kajian etnoart akan mengungkapkan makna-makna dari berbagai jenis kesenian yang dikenal, dihasilkan dan dipentaskan oleh suatu masyarakat.
b.      Kajian etnoart akan menghasilkan deskripsi fenomena kesenian yang lebih menghargai pandangan-pandangan yang berasal dari masyarakat yang diteliti, dan ini akan memberi dampak  positif terhadap pandangan masyarakat tersebut mengenai penelitian kesenian.
c.       Kajian etnoart akan mendorong dihasilkannya sarana dan teknik pelukisan fenomena kesenian yang baru, yang selain bersifat “universal” juga masih tetap memperhitungkan kekhasan serta dimensi pemaknaan yang diberikan oleh pelaku kesenian itu sendiri. (Ahimsa-Putra,2003:359).


 


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri.  2009. Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama. Yogyakarta: UGM Press.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2003. Ethnoart Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni. Yogyakarta: UGM Press.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007.  Ethnosains, Etnotek, dan Etnoart: Paradigma Fenomenologis Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal. Yogyakarta: UGM Press.

1 komentar:

  1. kak, boleh share artikel dar prof heddy yang ini ,Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Ethnosains, Etnotek, dan Etnoart: Paradigma Fenomenologis Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal. Yogyakarta: UGM Press.

    BalasHapus