NUANSA JAWA
KEKINIAN DI DESA BONGAS
Dwi Jayanti
(3401414036)
Pendidikan
Sosiologi dan Antropologi, 2014
Universitas
Negeri Semarang
Pengaruh
globalisasi pada kehidupan sehari-hari semakin dirasakan oleh semua lapisan
masyarakat. Mereka mulai menyukai kebiasaan-kebiasaan hidup orang Barat
(Westernisasi) dan meninggalkan kebudayaannya sendiri, salah satunya yaitu berkembangnya kebiasaan hidup yang serba
instan. Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen, terdapat
banyak variasi yang ada di dalam masyarakat tersebut, berbagai suku bangsa,
kebudayaan, ras, agama dan adat istiadat.
Menurut
Handoyo (2015:83), kebudayaan dihasilkan oleh masyarakat dan tidak ada
masyarakat yang tidak berbudaya. Dengan kata lain, budaya ada karena adanya
masyarakat dan dalam masyarakat pasti berbudaya. Namun dengan adanya
perkembangan zaman banyak masyarakat yang
melupakan kebudayaan sendiri sehingga tidak ada lagi agen yang akan melestarikan kebudayaan masing-masing daerah.
melupakan kebudayaan sendiri sehingga tidak ada lagi agen yang akan melestarikan kebudayaan masing-masing daerah.
Perubahan Budaya Jawa Pada
Masyarakat Desa Bongas
Menurut Koentjaraningrat (1984: 3),
daerah asal kebudayaan Jawa yaitu dari pulau Jawa yang letaknya di tepi sebelah
selatan Kepulauan Indonesia. Namun orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan
timur dari seluruh Pulau Jawa, di sebelah barat adalah daerah Sunda. Batas dari
daerah Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu
dapat digambarkan sekitar Sungai Citandui dan Sungai Cijulang di sebelah
selatan, dan di sebelah utara yaitu kota Indramayu.
Terpusatnya
keberadaan orang Jawa akan semakin mudah untuk terjadinya sebuah perubahan
budaya. Perubahan tersebut sangat terlihat jelas pada kehidupan sekarang,
serta kurangnya minat dari generasi muda
untuk melestarikan budaya merupakan hal yang mendasar untuk diperbaiki. Adapun
salah satu perubahan tersebut terutama di desa Bongas Kecamatan Watukumpul
Kabupaten Pemalang, yang dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini.
Variabel Perubahan
|
Budaya Jawa Masa Lalu
|
Budaya Jawa Masa Sekarang
|
Penampilan
|
Wanita
Jawa menggunakan sanggul di kepala (gelung).
|
Banyak wanita Jawa sekarang yang
berambut pendek, dan memakai jilbab.
|
Wanita Jawa
menggunakan kemben, kebaya dan tapih.
|
Wanita Jawa sekarang
banyak yang menggunakan celana, dan baju-baju modern lainnya (longdress, kaos, baju)
|
|
Bahasa
|
Orang Jawa
menggunakan bahasa Ngoko dan Krama
|
Orang Jawa
sekarang banyak yang menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa serapan
sebagai bahasa Ibu.
|
Kesopanan
|
Sifat orang
Jawa terkenal dengan ramah-tamah, penuh dengan tata krama.
|
Sifat itu
telah banyak yang berubah karena pengaruh dari luar.
|
Bentuk Rumah
|
Model rumah
orang Jawa dulu yaitu rumah joglo, rumah limasan, rumah serotong.
|
Model rumah
orang Jawa sekarang banyak yang modern, dan minimalis.
|
Kesenian
|
Orang Jawa
dulu banyak yang hafal tembang-tembang
macapat dan tembang dolanan.
|
Orang Jawa
sekarang justru mengetahui dan memahami lagu-lagu asing (k-pop, rock, jazz)
daripada lagu daerahnya sendiri. Jangankan menghafal lagu daerah, mengetahui
saja tidak.
|
Orang Jawa
dulu banyak yang bisa memainkan gamelan.
|
Orang Jawa
sekarang bisa memainkan alat musik modern. Jangankan bisa memainkan gamelan,
melihat dan mengetahui nama-namanya juga tidak.
|
|
Hiburan orang
Jawa dulu yaitu menonton wayang.
|
Sekarang orang
Jawa mempunyai hiburan yang disajikan oleh televisi.
|
|
Keseharian
|
Banyak waktu
luang yang digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, saudara bahkan
tetangga.
|
Mempunyai
kesibukan masing-masing.
|
Pemimpin
|
Pemilihan pemimpin atas dasar keturunan atau ditunjuk oleh masyarakat.
|
Pemilihan pemimpin sudah atas dasar demokrasi
|
Kendaraan
|
Warga berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan.
|
Banyak warga yang memiliki alat transportasi yang digunakan untuk menempuh
perjalanan.
|
Tabel 1. Perubahan
kebudayaan Jawa di Desa Bongas yang terjadi di era sekarang
Wanita Jawa di zaman dahulu sangat memperhatikan
penampilan dari aspek adat seperti menggunakan gelung, menggunakan kemben,
kebaya dan tapih, tetapi hal tersebut
sangat jarang kita jumpai pada masyarakat Jawa di era sekarang. Mereka lebih
memilih memakai celana dan kaos daripada memakai kebaya dan tapih
yang dianggap memang ribet untuk digunakan.
Gambar 1.
Model pakaian sehari-hari
Pada gambar tersebut yang diambil pada hari Minggu, 13
Desember 2015 di Desa Bongas Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang, terlihat
jelas bahwa yang masih menggunakan tapihyaitu
dari kalangan orang yang sudah sepuh. Masyarakat
biasa lebih memilih untuk menggunakan celana dan kaos untuk kehidupan
sehari-hari yang dianggapnya lebih simple.
Selain dari penampilan, dari aspek bahasapun sudah banyak yang berubah. Di
desa Bongas ditemukan bahwa anak-anak lebih memahami bahasa Indonesia daripada
bahasa Jawa Krama, karena mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa jawa krama.
Berbeda dengan masyarakat zaman dahulu, mereka lebih mahir dalam menggunakan
bahasa jawa krama. Orang Jawa sangat
terkenal dengan kesopanannya (unggah-ungguh), tetapi hal tersebut telah tergeser
dengan adanya pengaruh pergaulan saat ini. Banyak anak muda yang tidak lagi
menghormati orang yang lebih tua, misalnya saja ketika anak ingin berangkat ke
sekolah, mereka tidak bersalaman minta ijin kepada bapak ibunya tetapi malah
teriak-teriak dari luar rumah, anak zaman sekarang tidak permisi jika lewat di
depan orang tua.
Model pemukiman di desa Bongas yaitu berjejer sepanjang
jalan, mereka lebih memilih mempunyai rumah dipinggir atau dekat dengan jalan,
karena mereka beranggapan bahwa jika mempunyai rumah yang dekat dengan jalan
akan mudah jika memiliki kendaraan bermotor. Rumah-rumah di desa Bongas banyak
yang sudah dilakukan renovasi, model rumah warga kebanyakan sudah bernuansa
modern, tetapi ada juga yang masih sederhana, hal tersebut disebabkan karena
pemilik rumah tidak mempunyai biaya untuk melakukan renovasi rumah.
Gambar 2. Model Rumah
Modern Gambar 3.Model Rumah Sederhana
Dari segi
kesenian, orang Jawa dulu banyak yang hafal tembang-tembang
macapat dan tembang dolanan, tetapi
orang Jawa sekarang justru lebih menghafal lagu-lagu modern seperti k-pop,
dangdut, jazz, rock. Kebanyakan dari mereka justru tidak mengenal lagu daerah
masing-masing. Selain itu, orang Jawa dulu sangat senang dengan pertunjukan
wayang dan suara gamelan tetapi orang Jawa sekarang justru lebih senang berada
di rumah dengan hiburan yang disajikan di televisi serta lebih bisa memainkan alat-alat musik modern
seperti gitar, piano, dan lain-lain.
Keseharian warga
desa Bongas sudah banyak yang berubah, walaupun masih ada beberapa yang tetap
mempertahankan kebiasaan tersebut, yaitu ketika mereka mempunyai waktu luang,
mereka menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarga ataupun para
tetangga, meskipun hanya sekadar mengobrol ringan.
Gambar
4.Berkumpul
ketika mempunyai waktu luang
Sekarang warga
desa Bongas banyak yang mempunyai kendaraan bermotor, karena memang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. dalam hal ini telah
menghilangkan kebiasaan jalan kaki yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Mereka menggunakan sepeda motor ketika ingin pergi ke pasar, mengantar anaknya
ke sekolah, bahkan ada yang pergi ke sawah pun mengendarai motor.
Gambar
5.Sebagian
kendaraan bermotor yang dimiliki warga desa Bongas
Dari
Tunjuk-Menunjuk Menuju Setengah Demokrasi
Pada hari Jumat tanggal 11 Desember
2015 di desa Bongas diadakan pemilihan ketua RT
yang dilaksanakan sekitar pukul 19.30 WIB. Hal tersebut merupakan sebuah
kemajuan yang ada di desa Bongas karena pemilihan ketua RT tersebut atas dasar keinginan
dari pemuda setempat.
Menurut Antlov
(2001:133), “Desa-desa dikelola oleh golongan aparat desa yang sebagian dipilih
dan diangkat secara kolektif dikenal sebagai pamong desa”. Hal tersebut
terbukti pada kepemimpinan di desa Bongas pada masa lalu. Seorang ketua RT
dipilih atas dasar keinginan golongan tua, tidak melibatkan golongan
muda.Tetapi sekarang keadaan tersebut mulai ada perubahan, yaitu untuk
membentuk Ketua RT dilakukan pemilihan secara langsung, dimana semua aspirasi
masyarakat dapat tersalurkan. Namun terjadi kendala yang menyebabkan demokrasi
ini tidak menjadi demokrasi yang utuh, karena terdapat miskontrasepsi antara
golongan tua dan muda. Dimana golongan tua menginginkan seorang pemimpin
haruslah orang yang sudah tua, yang mengerti pahit manisnya kehidupan. Berbeda
dengan golongan muda, mereka beranggapan bahwa golongan muda yang mampu
berpikir luas ke depan demi kesejahteraan bersama. Dalam pemilihan ketua RT
tersebut terdapat 3 kandidat.
Gambar
6. Kandidat
Ketua RT di desa Bongas
Menurut salah
satu dari pemuda desa Bongas yang juga merupakan panitia pelaksana pemilihan
ketua RT, bernama Mas Bagus memaparkan bahwa :
“Proses
pemilihan ketua RT yang dilaksanakan kemarin sudah demokratis, teknis
pemilihannya juga meniru pemilu pada umumnya. Ada surat suara, pencoblosan, dan
perhitungan perolehan dengan Tally. Kehadiran warga pemilih sekitar 75 %. Ada 3
calon ketua RT, 1 orang dari wakil pemuda, dan 2 orang dari golongan tua.
Setelah proses pemilihan selesai, yang mendapat jumlah pemilih paling banyak adalah calon dari golongan orang tua. Hal ini sudah
bisa diprediksi sebelum proses pemilihan ketua RT berlangsung, karena sebagian
besar pemilih adalah orang tua, dan mereka beranggapan bahwa orang yang menjadi
ketua RT haruslah orang tua. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan pemuda.
Para pemuda berharap yang terpilih menjadi ketua RT adalah dari golongan
pemuda, dengan tujuan ada perbaikan di dalam kepemimpinan, karena pemuda
mempunyai visi dan semangat yang tinggi demi perubahan ke arah yang lebih baik.
Akan tetapi itu proses demokrasi, suara terbanyaklah yang jadi. Apapun hasilnya
harus dihargai.”
Berikut merupakan hasil dari
penghitungan suara pemilihan Ketua RT di desa Bongas, dimana kandidat nomor 1
dari kalangan pemuda mendapatkan suara sebanyak 32 suara, sedangkan kandidat
nomor 2 dan 3 dari golongan tua yang masing-masing mendapatkan suara sebanyak
56 suara dan 5 suara.
Gambar
7.
Hasil penghitungan suara Gambar 8. Warga sedang mengantri
Sesuai dengan yang dijelaskan oleh
narasumber, bahwa sebagian besar masyarakat di desa Bongas masih memiliki
pandangan bahwa yang menjadi pemimpin haruslah orang yang lebih tua. Sehingga
kandidat yang mendapat suara terbanyak dari golongan tua, karena hampir
sebagian besar pemilih adalah golongan tua. Sebelum proses pemilihan dimulai,
terdapat beberapa kali pergantian calon sehingga membuat panitia merasa jengkel
karena surat suaranya pun mesti berubah. Pergantian calon dilakukan karena dari
diri calon sendiri yang belum siap atau bahkan tidak mau, tetapi sebenarnya dia
mampu, mempunyai kemampuan untuk memimpin, mempunyai kemampuan yang bagus untuk
berbicara di depan umum. Tapi karena perspektif warga belum bisa dirubah, maka
yang menjadi ketua RT ya dari golongan tua, yang mereka belum tau kualitasnya,
bisa jadi beliau tidak bisa berbicara di depan umum dengan baik karena pada
dasarnya pengalaman dan pendidikan tidak mendukung. Jadi ketua RT sekarang di
Desa Bongas dipilih warga bukan karena latar belakang pendidikan dan pengalaman
yang bagus, melainkan dipilih karena anggapan masyarakat “ketua RT haruslah orang tua”.
Sumber :
Antlov, Hans. 2001. Kepemimpinan Jawa : Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter.
Terjemahan P. Soemitro. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Handoyo,
Eko. 2015. Studi Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta : Ombak.
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta :
Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar