Jumat, 15 Januari 2016

Nuansa Jawa Kekinian di Desa Bongas




NUANSA JAWA KEKINIAN DI DESA BONGAS
Dwi Jayanti (3401414036)
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, 2014
Universitas Negeri Semarang

Pengaruh globalisasi pada kehidupan sehari-hari semakin dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Mereka mulai menyukai kebiasaan-kebiasaan hidup orang Barat (Westernisasi) dan meninggalkan kebudayaannya sendiri, salah satunya yaitu  berkembangnya kebiasaan hidup yang serba instan. Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen, terdapat banyak variasi yang ada di dalam masyarakat tersebut, berbagai suku bangsa, kebudayaan, ras, agama dan adat istiadat.
Menurut Handoyo (2015:83), kebudayaan dihasilkan oleh masyarakat dan tidak ada masyarakat yang tidak berbudaya. Dengan kata lain, budaya ada karena adanya masyarakat dan dalam masyarakat pasti berbudaya. Namun dengan adanya perkembangan zaman banyak masyarakat yang
melupakan kebudayaan sendiri sehingga tidak ada lagi agen yang akan melestarikan kebudayaan masing-masing daerah.
Perubahan Budaya Jawa Pada Masyarakat Desa Bongas
Menurut Koentjaraningrat (1984: 3), daerah asal kebudayaan Jawa yaitu dari pulau Jawa yang letaknya di tepi sebelah selatan Kepulauan Indonesia. Namun orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa, di sebelah barat adalah daerah Sunda. Batas dari daerah Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat digambarkan sekitar Sungai Citandui dan Sungai Cijulang di sebelah selatan, dan di sebelah utara yaitu kota Indramayu.
Terpusatnya keberadaan orang Jawa akan semakin mudah untuk terjadinya sebuah perubahan budaya. Perubahan tersebut sangat terlihat jelas pada kehidupan sekarang, serta  kurangnya minat dari generasi muda untuk melestarikan budaya merupakan hal yang mendasar untuk diperbaiki. Adapun salah satu perubahan tersebut terutama di desa Bongas Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang, yang dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini.
Variabel Perubahan
Budaya Jawa Masa Lalu
Budaya Jawa Masa Sekarang
Penampilan
Wanita Jawa menggunakan sanggul di kepala (gelung).
Banyak wanita Jawa sekarang yang berambut pendek, dan memakai jilbab.
Wanita Jawa menggunakan kemben, kebaya dan tapih.
Wanita Jawa sekarang banyak yang menggunakan celana, dan baju-baju modern lainnya (longdress, kaos, baju)
Bahasa
Orang Jawa menggunakan bahasa Ngoko dan Krama
Orang Jawa sekarang banyak yang menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa serapan sebagai bahasa Ibu.
Kesopanan
Sifat orang Jawa terkenal dengan ramah-tamah, penuh dengan tata krama.
Sifat itu telah banyak yang berubah karena pengaruh dari luar.
Bentuk Rumah
Model rumah orang Jawa dulu yaitu rumah joglo, rumah limasan, rumah serotong.
Model rumah orang Jawa sekarang banyak yang modern, dan minimalis.
Kesenian
Orang Jawa dulu banyak yang hafal tembang-tembang macapat dan tembang dolanan.
Orang Jawa sekarang justru mengetahui dan memahami lagu-lagu asing (k-pop, rock, jazz) daripada lagu daerahnya sendiri. Jangankan menghafal lagu daerah, mengetahui saja tidak.
Orang Jawa dulu banyak yang bisa memainkan gamelan.
Orang Jawa sekarang bisa memainkan alat musik modern. Jangankan bisa memainkan gamelan, melihat dan mengetahui nama-namanya juga tidak.
Hiburan orang Jawa dulu yaitu menonton wayang.
Sekarang orang Jawa mempunyai hiburan yang disajikan oleh televisi.
Keseharian
Banyak waktu luang yang digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, saudara bahkan tetangga.
Mempunyai kesibukan masing-masing.
Pemimpin
Pemilihan pemimpin atas dasar keturunan atau ditunjuk oleh masyarakat.
Pemilihan pemimpin sudah atas dasar demokrasi

Kendaraan
Warga berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan.
Banyak warga yang memiliki alat transportasi yang digunakan untuk menempuh perjalanan.
Tabel 1. Perubahan kebudayaan Jawa di Desa Bongas yang terjadi di era sekarang

Wanita Jawa di zaman dahulu sangat memperhatikan penampilan dari aspek adat seperti menggunakan gelung, menggunakan kemben, kebaya dan tapih, tetapi hal tersebut sangat jarang kita jumpai pada masyarakat Jawa di era sekarang. Mereka lebih memilih memakai celana dan kaos daripada memakai kebaya dan tapih  yang dianggap memang ribet untuk digunakan.
Gambar 1. Model pakaian sehari-hari
Pada gambar tersebut yang diambil pada hari Minggu, 13 Desember 2015 di Desa Bongas Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang, terlihat jelas bahwa yang masih menggunakan tapihyaitu dari kalangan orang yang sudah sepuh. Masyarakat biasa lebih memilih untuk menggunakan celana dan kaos untuk kehidupan sehari-hari yang dianggapnya lebih simple. Selain dari penampilan, dari aspek bahasapun sudah banyak yang berubah. Di desa Bongas ditemukan bahwa anak-anak lebih memahami bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa Krama, karena mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa jawa krama. Berbeda dengan masyarakat zaman dahulu, mereka lebih mahir dalam menggunakan bahasa jawa krama.  Orang Jawa sangat terkenal dengan kesopanannya (unggah-ungguh), tetapi hal tersebut telah tergeser dengan adanya pengaruh pergaulan saat ini. Banyak anak muda yang tidak lagi menghormati orang yang lebih tua, misalnya saja ketika anak ingin berangkat ke sekolah, mereka tidak bersalaman minta ijin kepada bapak ibunya tetapi malah teriak-teriak dari luar rumah, anak zaman sekarang tidak permisi jika lewat di depan orang tua.
Model pemukiman di desa Bongas yaitu berjejer sepanjang jalan, mereka lebih memilih mempunyai rumah dipinggir atau dekat dengan jalan, karena mereka beranggapan bahwa jika mempunyai rumah yang dekat dengan jalan akan mudah jika memiliki kendaraan bermotor. Rumah-rumah di desa Bongas banyak yang sudah dilakukan renovasi, model rumah warga kebanyakan sudah bernuansa modern, tetapi ada juga yang masih sederhana, hal tersebut disebabkan karena pemilik rumah tidak mempunyai biaya untuk melakukan renovasi rumah.
                                   
Gambar 2. Model Rumah Modern                Gambar 3.Model Rumah Sederhana

Dari segi kesenian, orang Jawa dulu banyak yang hafal tembang-tembang macapat dan tembang dolanan, tetapi orang Jawa sekarang justru lebih menghafal lagu-lagu modern seperti k-pop, dangdut, jazz, rock. Kebanyakan dari mereka justru tidak mengenal lagu daerah masing-masing. Selain itu, orang Jawa dulu sangat senang dengan pertunjukan wayang dan suara gamelan tetapi orang Jawa sekarang justru lebih senang berada di rumah dengan hiburan yang disajikan di televisi serta  lebih bisa memainkan alat-alat musik modern seperti gitar, piano, dan lain-lain.
Keseharian warga desa Bongas sudah banyak yang berubah, walaupun masih ada beberapa yang tetap mempertahankan kebiasaan tersebut, yaitu ketika mereka mempunyai waktu luang, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarga ataupun para tetangga, meskipun hanya sekadar mengobrol ringan.

Gambar 4.Berkumpul ketika mempunyai waktu luang

Sekarang warga desa Bongas banyak yang mempunyai kendaraan bermotor, karena memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. dalam hal ini telah menghilangkan kebiasaan jalan kaki yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Mereka menggunakan sepeda motor ketika ingin pergi ke pasar, mengantar anaknya ke sekolah, bahkan ada yang pergi ke sawah pun mengendarai motor.
Gambar 5.Sebagian kendaraan bermotor yang dimiliki warga desa Bongas

Dari Tunjuk-Menunjuk Menuju Setengah Demokrasi
Pada hari Jumat tanggal 11 Desember 2015 di desa Bongas diadakan pemilihan ketua RT  yang dilaksanakan sekitar pukul 19.30 WIB. Hal tersebut merupakan sebuah kemajuan yang ada di desa Bongas karena pemilihan ketua RT tersebut atas dasar keinginan dari pemuda setempat.
Menurut Antlov (2001:133), “Desa-desa dikelola oleh golongan aparat desa yang sebagian dipilih dan diangkat secara kolektif dikenal sebagai pamong desa”. Hal tersebut terbukti pada kepemimpinan di desa Bongas pada masa lalu. Seorang ketua RT dipilih atas dasar keinginan golongan tua, tidak melibatkan golongan muda.Tetapi sekarang keadaan tersebut mulai ada perubahan, yaitu untuk membentuk Ketua RT dilakukan pemilihan secara langsung, dimana semua aspirasi masyarakat dapat tersalurkan. Namun terjadi kendala yang menyebabkan demokrasi ini tidak menjadi demokrasi yang utuh, karena terdapat miskontrasepsi antara golongan tua dan muda. Dimana golongan tua menginginkan seorang pemimpin haruslah orang yang sudah tua, yang mengerti pahit manisnya kehidupan. Berbeda dengan golongan muda, mereka beranggapan bahwa golongan muda yang mampu berpikir luas ke depan demi kesejahteraan bersama. Dalam pemilihan ketua RT tersebut terdapat 3 kandidat.
Gambar 6. Kandidat Ketua RT di desa Bongas

            Menurut salah satu dari pemuda desa Bongas yang juga merupakan panitia pelaksana pemilihan ketua RT, bernama Mas Bagus memaparkan bahwa :
“Proses pemilihan ketua RT yang dilaksanakan kemarin sudah demokratis, teknis pemilihannya juga meniru pemilu pada umumnya. Ada surat suara, pencoblosan, dan perhitungan perolehan dengan Tally. Kehadiran warga pemilih sekitar 75 %. Ada 3 calon ketua RT, 1 orang dari wakil pemuda, dan 2 orang dari golongan tua. Setelah proses pemilihan selesai, yang mendapat jumlah pemilih  paling banyak adalah  calon dari golongan orang tua. Hal ini sudah bisa diprediksi sebelum proses pemilihan ketua RT berlangsung, karena sebagian besar pemilih adalah orang tua, dan mereka beranggapan bahwa orang yang menjadi ketua RT haruslah orang tua. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan pemuda. Para pemuda berharap yang terpilih menjadi ketua RT adalah dari golongan pemuda, dengan tujuan ada perbaikan di dalam kepemimpinan, karena pemuda mempunyai visi dan semangat yang tinggi demi perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi itu proses demokrasi, suara terbanyaklah yang jadi. Apapun hasilnya harus dihargai.”
            Berikut merupakan hasil dari penghitungan suara pemilihan Ketua RT di desa Bongas, dimana kandidat nomor 1 dari kalangan pemuda mendapatkan suara sebanyak 32 suara, sedangkan kandidat nomor 2 dan 3 dari golongan tua yang masing-masing mendapatkan suara sebanyak 56 suara dan 5 suara.
Gambar 7. Hasil penghitungan suara            Gambar 8. Warga sedang mengantri

Sesuai dengan yang dijelaskan oleh narasumber, bahwa sebagian besar masyarakat di desa Bongas masih memiliki pandangan bahwa yang menjadi pemimpin haruslah orang yang lebih tua. Sehingga kandidat yang mendapat suara terbanyak dari golongan tua, karena hampir sebagian besar pemilih adalah golongan tua. Sebelum proses pemilihan dimulai, terdapat beberapa kali pergantian calon sehingga membuat panitia merasa jengkel karena surat suaranya pun mesti berubah. Pergantian calon dilakukan karena dari diri calon sendiri yang belum siap atau bahkan tidak mau, tetapi sebenarnya dia mampu, mempunyai kemampuan untuk memimpin, mempunyai kemampuan yang bagus untuk berbicara di depan umum. Tapi karena perspektif warga belum bisa dirubah, maka yang menjadi ketua RT ya dari golongan tua, yang mereka belum tau kualitasnya, bisa jadi beliau tidak bisa berbicara di depan umum dengan baik karena pada dasarnya pengalaman dan pendidikan tidak mendukung. Jadi ketua RT sekarang di Desa Bongas dipilih warga bukan karena latar belakang pendidikan dan pengalaman yang bagus, melainkan dipilih karena anggapan masyarakat “ketua RT haruslah orang tua”.
Sumber           :
Antlov, Hans. 2001. Kepemimpinan Jawa : Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Terjemahan P. Soemitro. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Handoyo, Eko. 2015. Studi Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : Ombak.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar