Jumat, 15 Januari 2016

Mendidik Diri Jadi Indonesia : Memanusiakan Lian di Depan Kita


Mendidik Diri Jadi Indonesia : Memanusiakan Lian di Depan Kita
(Dwi Jayanti 3401414036)
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi 2014, FIS
Universitas Negeri Semarang

            Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita diwajibkan untuk berbuat kebaikanterhadap sesama seperti saling menghargai, saling tolong menolong dan saling membantu satu sama lain. Hal ini bertujuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan-Nya agar kelak bisa menikmati kehidupan yang baik di akhirat. Selain itu, kita sebagai makhluk sosial (secara tidak langsung)  juga diwajibkan untuk saling tolong menolong, karena kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu
ada saja hal yang dirasakan ketika kita sudah berbuat kebaikan, ini sudah menjadi hukum alam, dimana kita menanam suatu kebaikan suatu saat nanti kita akan memanen kebaikan tersebut.

Ketidak Sengajaan di Pagi Hari
Pagi itu, 5 November 2015 saya sedang bersiap-siap untuk berangkat kuliah pukul 07.00. Waktu itu saya sedang terburu-buru karena jam sudah menunjukkan pukul 06.55, dan saya berniat untuk membawa bekal ketika kuliah nanti. Di ruang tamu ada 2 teman saya yang sedang mengerjakan tugas Teori Sosiologi Klasik, dari kamar sambil membawa tempat nasi beserta nasinya, saya keluar menuju ruang tamu untuk mengambil lauk, lalu kembali menuju kamar sambil berjalan setengah lari, tiba-tiba ada seorang ibu yang berusia sekitar 50 tahun mengetuk pintu dan mengucapkan salam, karena memang pintunya sedikit terbuka dan secara spontan saya menjawab salam tersebut. Saya merasa bingung karena saya tidak mengenal ibu tersebut.Lalu ibu itu berbicara
Ibu       : “Mbak, tolongin saya. Saya mau pulang tapi kehabisan uang.”
Dije     : “Emang ibu pulangnya mana ?”
Ibu       : “Saya pulangnya Ambarawa mbak.”
Secara spontan saya langsung mengambil uang untuk diberikan kepada ibu tersebut, jumlahnya memang tidak seberapa tapi saya melihat dari raut wajahnya, ibu itu merasa senang. Lalu dengan nafas terengah-engah, ibu itu meminta segelas air es, saya sangat merasa kasihanlalu saya langsung mengambil air es di kulkas untuk kemudian diberikan ke ibu tersebut. Tidak banyak yang kami bicarakan, karena saya memang sedang terburu-buru. Ibu itu tampak senang, dan mengucapkan “terimakasih banyak”, katanya saya orang yang berjiwa sosial tinggi , tidak seperti teman-teman lain yang berada di ruang tamu. Ibu tersebut juga menambahkan beberapa kalimat harapan yang dilontarkan kepada saya, katanya “semoga cepat lulus kuliah, dan semoga kebaikan ini dibalas oleh Allah swt.” Sambil memakai sepatu saya hanya bisa mengamini sambil tersenyum simpul.
MenurutJohnson, (1986:183)“solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula.” Dalam kasus ini, kesadaran kolektif terjadi pada masyarakat desa dimana mereka mempunyai kepercayaan dan pola normatif yang sama. Jika salah satu dari tetangga mereka mengalami kesusahan, atas kesadaran kolektif tetangga tersebut langsung dibantu oleh warga atau tetangga di sekitarnya. Saya hidup di daerah pedesaan, dimana rasa kekeluargaan dan kesadaran kolektif masih dapat dirasakan. Dalam kasus ini atas dasar kesadaran kolektif, saya merasa kasihan terhadap ibu tersebut, selain merasa kasihan saya juga teringat dengan keluarga saya dirumah dimana mereka hidup dalam rasa kekeluargaan yang masih erat dan saya pun terbiasa dengan hal tersebut, jadi ketika ibu itu datang untuk meminta tolong saya langsung menolongnya.
Saya sempat diberitahukan oleh teman saya, bahwa saya harus hati-hati. Bisa saja ibu tersebut hanya berpura-pura dan masuk dari pintu satu ke pintu yang lain. Tapi ketika ibu itu meminta tolong, sempat terlintas di pikiran saya yaitu pesan dari orang terkasih bahwa “kamu banyaklah sedekah”, saya melakukan itu niatnya sedekah. Kalau memang apa yang dibicarakan teman saya itu benar berarti uang itu bukan rezeki saya. Walaupun hati saya tidak tenang karena kepikiran dengan apa yang diomongkan teman saya, tapi ya sudahlah semua itu sudah ada yang mengatur dan saya melakukan hal tersebut secara sadar dan spontan karena saya merasa kasihan, waktu itu yang ada di pikiran saya hanyalah kelurga saya. Apabila mereka bepergian dan di tengah perjalanan mengalami hal tersebut, apa yang akan mereka lakukan. Kasihan sekali jika tidak ada yang menolong mereka. Maka dari itu, saya secara sadar dan ikhlas menolong ibu tersebut.

Mid Semester Bahasa Indonesia
Senin, 2 November 2015. Ketika saya sedang mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia di A3-206 pukul 13.00 dengan dosen pengampu Bapak Diyamon Prasandha, agenda perkuliahan hari itu yaitu mid semester, dengan mengerjakan soal yang sangat simple, hanya disuruh menulis sebuah surat untuk orang tua masing-masing di kertas folio. Sebelum mengerjakan, terlebih dahulu ditayangkan sebuah video tentang pengorbanan ayah dan ibu, agar kesan menulis surat lebih greget. Banyak teman-teman yang menulis sambil menangis, karena sedih, teringat orang tua yang jauh disana. Salah satu mahasiswa dari FIK berbicara, katanya “badan memang kekar, atletis, tapi kalau masalah orang tua hati langsung jadi hello kitty”. Sambil mengerjakan, banyak gurauan serta canda yang terlontar dari beberapa mahasiswa. Tiba-tiba, teman di sebelah saya yang bernama Raisa jurusan KTP, bertanya
Raisa   : “Mbak bawa pulpen berapa ?”
Dwi     : “Oh ada ini, mau pinjam?”
Raisa   : “Iya mbak, pinjam ya ? (sambil tersenyum)
Dwi     : “Iya nggak apa-apa, pakai aja mbak.” (sambil membalas senyumnya)
Baru sekitar 10 menit dan pengerjaan soalpun belum selesai, tiba-tiba Raisa memanggil saya kembali dan berkata “ini mbak pulpennya, terimakasih ya.” Dan ternyata pulpen tersebut ngadat(tidak lancar untuk menulis), pantas saja belum selesai mengerjakan sudah dikembalikan.
Menurut Ritzer, (2012:216)“tindakan rasionalitas nilai atau tindakan yang “ditentukan oleh kepercayaan yang sadar akan nilai tersendiri suatu bentuk perilaku yang etis, estetis, religius atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek-prospek keberhasilannya.” Dalam kasus ini, tindakan sosial ditentukan oleh kepercayaan yang sadar tetapi mengesampingkan hasil dari tindakan tersebut. Saya berniat ingin membantu teman saya yang sedang membutuhkan pulpen, tapi apa daya pulpennya saja yang tidak mendukung. Bukannya menolong saya, justru mempermalukan saya.

Latihan Masak
Jumat, 20 November 2015 sekitar pukul 07.00. Saya sedang berada di rumah dan ketika itu saya sedang bersiap-siap untuk pergi ke warung dan hendak membeli tempe, tomat dan bayam. Saya membeli bayam seharga 2000, tempe 5000 dapat 3, dan tomat seharga 1000. Setelah itu saya pulang ke rumah dan hendak memasak sayur bayam, tempe goreng, sambal tomat dan tempe balado. Waktu itu, di rumah hanya ada saya dan adik saya jadi hanya memasak sedikit. Namanya saja baru latihan, masalah rasa ya begitulah tetapi setidaknya mampu mengganjal rasa lapar saya dan adik saya.
Menurut  Johnson (1986:221) “ Tindakan afektif ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.” Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi atau kriteria rasionalitas lainnya.Menurut saya kasus ini termasuk dalam tindakan afektif, karena saya melakukan hal ini tidak seperti biasanya, bisa dikatakan tumben sekali. Tidak rasional bagi mereka yang melihat apa yang saya lakukan. Jadi keadaan yang memaksa saya seperti ini bukan sebuah kesadaran.

Anak Kecil itu Bernama Fathan
Minggu, 22 November 2015. Saya mempunyai keponakan yang sangat lucu, dia bernama Fathan dan berusia 1,5 tahun. Hari itu saya mendatangi rumahnya karena memang jarak rumah kami yang berdekatan. Ibunya sedang sibuk memasak karena ada beberapa orang yang sedang bekerja membuat pondasi di samping rumahnya. Tidak banyak yang saya lakukan bersama Fathan, saya hanya mendorong dia ketika bermain sepeda, tertawa bersama, saya juga memandikan dia sambil tertawa cekikikan, lalu menggendong dia dan menyuapinya. Saya sangat suka pada anak kecil. Setelah Fathan rapi dan wangi lalu saya bawa dia ke rumah saya, saya foto dia dan ternyata dia sudah bisa bergaya di depan kamera, entah siapa yang mengajarinya. Banyak perkembangan yang terjadi menginjak usianya yang sekarang, dia sudah bisa memanggil ibunya, bapaknya, neneknya, dan orang di sekitarnya yang dekat dengan dia. Fathan juga bisa menirukan suara cicak, tekek, bahkan juga bisa menirukan kebiasaan-kebiasaan orang di sekitarnya.
Setengah hari kami bersama dan akhirnya ibunya menelepon saya bahwa Fathan harus dibawa ke rumah karena ibunya sudah selesai memasak. Saya menggendong Fathan menuju ke rumahnya karena kalau saya ajak jalan pasti sampainya sangat lama. Ketika tiba di rumahnya, saya langsung disuruh makan.
MenurutJohnson (1986:182) “kekuatan integrasi lebih tinggi merupakan contoh solidaritas mekanik.”Dalam kasus ini, integrasi yang terjadi sangat kuat dibuktikan ketika saya sudah selesai bermain dengan  Fathan, ibunya langsung mengajak saya untuk makan bersama.Selain itu, karena solidaritas yang sudah terbentuk maka terdapat kepercayaan untuk saling tolong menolong, seperti menjaga anak kecil.

Aksi yang Mampu Menyelamatkan Banyak Nyawa
Selasa, 1 Desember 2015 sekitar pukul 09.00. Saya bersama beberapa teman saya berjalan menuju kampus FE (C3) karena disana terdapat bendera PMI yang berkibar artinya di tempat tersebut sedang diadakan kegiatan mengenai PMI yaitu donor darah. Ketika saya sampai di C3 ternyata tempat untuk donor darah sedang di tata, dan kami pun menunggu sebentar. Tiba-tiba ada seorang mahasiswi yang bertanya kepada saya.
X         : “Mbak mau donor ?”
Dwi     : “Iya.”
X         : “Emang ada 45 kg ??”
Dwi     : “ Emang badan saya kelihatan kecil ya?” (sambil melihat badan sendiri). “Mbak juga mau donor ?”
X         : Iya, mau donor.”
Hayin  : Emang situ ada 45 kg ?? (sambil tertawa)
X         : “Nggak tahu, tapi belum sarapan si.” (langsung pergi)
Kalau boleh jujur badan dia lebih kecil dari saya, Hayin dan Ifa pun mengakui itu. Sepertinya dia sangat malu dan langsung pergi begitu saja. Setelah tempatnya selesai ditata, kami pun berjejer menunggu giliran. Kebetulan Hayin mendapat giliran pertama, tapi sayang dia tidak bisa donor darah karena Hb-nya tidak mendukung. Setelah menunggu beberapa giliran, saya pun mendapat giliran untuk di cek darah terlebih dahulu. Beberapa pertanyaan sempat ditanyakan oleh pegawai PMI seperti kapan terakhir menstruasi, dalam waktu terdekat ini sedang minum obat/jamu atau tidak, kapan donor terakhir. Lalu HB saya di cek, tekanan darah saya normal dan akhirnya saya bisa donor darah.
Menurut http://manfaat.co.idbanyak manfaat dari donor darah baik bagi penerima ataupun pendonor. Adapun manfaat donor darah bagi pendonor yaitu sebagai bentuk kepedulian antar umat manusia, dapat membantu menurunkan berat badan, membantu membakar kalori, deteksi dini resiko kesehatan, melindungi jantung, mencegah stroke, mencegah resiko kesehatan, mengatur kontrol kesehatan, memperbaharui sel darah baru, mengurangi kelebihan zat besi, meningkatkan sel darah merah, meningkatkan kapasitas paru-paru dan ginjal, meningkatkan kesehatan psikologis, membantu sirkulasi darah, memaksimalkan darah dalam paru-paru, menurunkan zat seng dalam darah, mencegah penyakit langka, menghilangkan kaku di pundak, mengetahui tipe darah. Dalam kasus ini, manfaat dari donor darah sudah saya rasakan sendiri secara langsung seperti mengetahui tipe darah, melalui aksi donor darah saya menjadi tahu golongan darah saya. Selain itu kegiatan donor darah mampu meningkatkan kesehatan psikologis, saya merasakan hal itu ketika jarum di lengan saya sudah dicabut, saya merasakan kepuasan tersendiri, setelah selesai donor darah langsung istirahat dan tidur, ketika bangun tidur badan terasa lebih segar dan terasa ringan.

Referensi :
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Paul Johnson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar